Selasa, 17 April 2012

BENTUK TES DAN TINGKAH LAKU BELAJAR

BENTUK TES DAN TINGKAH LAKU BELAJAR
A. PENGANTAR
Evaluasi hasil belajar dengan menggunakan tes objektif mulai banyak ditinggalkan karena alasan kelemahan yang melekat pada tes bentuk ini. Kebijakan baru Departemen Pendidikan Nasional untuk menghapus penggunaan Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) pada beberapa jenjang pendidikan merupakan sebuah contoh.
Berbagai keberatan penggunaan Ebtanas untuk mengevaluasi hasil belajar tahap akhir salah satunya disebabkan karena bentuk tesnya yang bersifat objektif. Hasil belajar dari tes bentuk objektif itu dinilai tidak memiliki arti apapun, karena sebenarnya perangkat tes itu hanya mengukur tingkat kognisi yang sangat rendah. Tes itu hanya memberi keuntungan bagi mereka yang belajar dengan menghafal dan merugikan mereka yang belajar dengan memahami. Akibatnya, tes bentuk ini memberikan penghargaan bagi para penghafal dan menghasilkan manusia-manusia penghafal dalam masyarakat.

 
Padahal, dalam kehidupan masyarakat, manusia yang diperlukan adalah manusia yang memiliki prakarsa-prakarsa kreatif dalam pembangunan dan mampu melakukan transfer apa yang dipelajari dalam kehidupan masyarakat (transfer of training). Tanpa kemampuan transfer, apa yang dipelajari tidak berguna, karena belajar bukan semata untuk mendapatkan pengetahuan (ilmu), tapi untuk mendapatkan pemahaman (kawruh).
Tulisan ini mengkaji pengaruh bentuk tes terhadap hasil belajar pada berbagai tingkah laku belajar. Oleh karena itu terdapat tiga variabel yang terlibat dalam kajian ini : hasil belajar, bentuk tes dan tingkah laku belajar. Secara terperinci masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

B. HASIL BELAJAR
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw materials) menjadi barang jadi (finished goods).
Hal yang sama berlaku untuk memberikan batasan bagi istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil pembangunan, termasuk hasil belajar. Dalam siklus input-proses-hasil, hasil dapat dengan jelas dibedakan dengan input akibat perubahan oleh proses. Begitu pula dalam kegiatan belajar mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya dibanding sebelumnya. Hubungan itu digambarkan oleh Grounlund (1985 : 25) sebagai berikut:
Belajar adalah proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Perubahan itu diperoleh melalui usaha (bukan karena kematangan), menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman.
Belajar merupakan proses yang unik dan kompleks. Keunikan itu disebabkan karena hasil belajar hanya terjadi pada individu yang belajar, tidak pada orang lain dan setiap individu menampilkan perilaku belajar yang berbeda. Perbedaan penampilan itu disebabkan karena setiap individu mempunyai karakteristik individualnya yang khas, seperti minat, intelegensi, perhatian, bakat dan sebagainya.
Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan perolehan yang menjadi hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel, 1999 : 51). Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom, E. Simpson dan A. Harrow (Winkel, 1999 : 244) mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Proses pengajaran merupakan sebuah aktivitas sadar untuk membuat siswa belajar. Proses sadar mengandung implikasi bahwa pengajaran merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan pengajaran (goal directed). Dalam konteks demikian maka hasil belajar merupakan perolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan tujuan pengajaran (ends are being attained).
Tujuan pengajaran menjadi hasil belajar potensial yang akan dicapai oleh anak melalui kegiatan belajarnya. Oleh karenanya, tes hasil belajar sebagai alat untuk mengukur hasil belajar harus mengukur apa yang dipelajari dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan instruksional yang tercantum dalam kurikulum yang berlaku (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 28) karena tujuan pengajaran adalah kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya (Sudjana, 1996 : 3). Hasil belajar yang diukur merefleksikan tujuan pengajaran (Grounlund, 1981 : 20).
Tujuan pengajaran adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Oleh karenanya, menurut Arikunto (1995 : 131) dalam merumuskan tujuan instruksional harus diusahakan agar nampak bahwa setelah tercapainya tujuan itu terjadi adanya perubahan pada diri anak yang meliputi kemampuan intelektual, sikap/minat maupun keterampilan.
Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran. Pemberian tekanan penguasaan materi akibat perubahan dalam diri siswa setelah belajar diberikan oleh Soedijarto (1993 : 49) yang mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran sebagai akibat dari perubahan perilaku setelah mengikuti proses belajar mengajar berdasarkan tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Hasil belajar itu akan diukur dengan sebuah tes.

C. BENTUK TES
Tes berasal dari kata “testum” dari bahasa Perancis yang berarti piring untuk menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir, batu, tanah, dan sebagainya. Istilah itu kemudian diadopsi dalam psikologi dan pendidikan untuk menjelaskan sebuah alat yang digunakan untuk melihat anak-anak yang merupakan “logam mulia” di antara anak yang lain.
Menurut Webster’s Collegiate, tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto, 1995 : 29). Cronbach (Azwar, 1987 : 3) mendefinisikan tes sebagai “a systematic procedure for observing a person’s behavior and describing it with the aid of a numerical scale or category system”.
Dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan. Pertama, tes merupakan prosedur sistematis. Butir-butir tes disusun menurut cara dan aturan tertentu, prosedur administrasi dan pemberian angka (scoring) harus jelas dan spesifik, dan setiap orang yang mengambil tes harus mendapat butir-butir yang sama dan dalam kondisi yang sebanding. Kedua, tes berisi sampel perilaku.
Populasi butir tes yang bisa dibuat dari suatu materi tidak terhingga jumlahnya. Keseluruhan butir itu mustahil dapat seluruhnya tercakup dalam tes. Kelayakan tes lebih tergantung kepada sejauh mana butir-butir di dalam tes mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur. Ketiga, tes mengukur perilaku. Butir-butir tes menghendaki subjek agar menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang dipelajari subjek dengan cara menjawab butir-butir atau mengerjakan tugas yang dikehendaki oleh tes. Respon subjek atas tes merupakan perilaku yang ingin diketahui dari penyelenggaraan tes.
Sebuah tes psikologi pada dasarnya adalah alat ukur yang objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu (Anastasi dan Urbina, 1997 : 3). Dalam psikologi, tes dapat diklasifikasikan menjadi empat. Pertama, tes yang mengukur intelegensia umum (general intelligence test). Tes ini dirancang untuk mengukur kemampuan umum seseorang dalam suatu tugas. Kedua, tes yang mengukur kemampuan khusus atau tes bakat (special ability test). Tes ini digunakan untuk mengungkap kemampuan potensial subjek dalam bidang tertentu. Ketiga, tes yang mengukur prestasi (achievement test).
Tes ini dimaksudkan untuk mengungkapkan kemampuan aktual sebagai hasil belajar. Keempat, tes yang mengungkap aspek kepribadian (personality assesment). Tes ini mengungkap karakteristik individual subjek dalam aspek yang diukur.
Merujuk kepada penggolongan di atas, tes yang dipakai di kelas yang menjadi pembahasan ini adalah tes prestasi atau hasil belajar. Di dalam kelas, tes merupakan salah satu alat evaluasi untuk menggali informasi tentang sejauhmana penguasaan anak terhadap suatu materi (mastering test). Tes diadministrasikan untuk mengetahui performansi maksimum (Cronbach dalam Azwar, 1987 : 8). Tes hasil belajar adalah suatu prosedur sistematik untuk mengetahui jumlah bahan yang dipelajari oleh seorang siswa (Grounlund, 1981 : 1). Jadi, tes berfungsi sebagai “alat timbang” untuk mengetahui “bobot” kemampuan yang dimiliki anak.
Tes dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Berdasarkan bentuk pertanyaannya, tes dapat berbentuk objektif dan esai (Grounlund, 1981; Grounlund dan Linn, 1985; Popham, 1981; Nurkancana dan Sumartana, 1986; Arikunto, 1995; Subino, 1987).
1. Tes Objektif
Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karena sifatnya yang demikian Popham (1981 : 235) menyebutnya dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test). Butir soal telah mengandung kemungkinan jawaban yang harus dipilih atau dikerjakan oleh peserta tes.
Kemungkinan jawaban telah dipasok oleh pengkonstruksi tes dan peserta hanya memilih jawaban dari kemungkinan jawaban yang telah disediakan (Zainul dan Nasoetion, 1996). Menurut Subino (1987 : 4) perbedaan yang khas bentuk soal objektif dibanding dengan soal esai adalah tugas peserta tes (testee) dalam merespons tes. Pada tes objektif, tugas testi adalah memanipulasikan data yang telah ada dalam butir soal. Hal ini berbeda dengan soal esai dimana testi harus menciptakan dan mencari sendiri unsur-unsur yang dibutuhkan untuk menjawab soal.
Sebagaimana nama yang digunakannya, soal objektif adalah soal yang tingkat kebenarannya objektif. Oleh karenanya, tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif (Arikunto, 1995 : 165). Karena sifatnya yang objektif maka penskorannya dapat dilakukan dengan bantuan mesin. Soal ini tidak memberi peluang untuk memberikan penilaian yang bergradasi karena dia hanya mengenal benar dan salah. Apabila respons siswa sesuai dengan jawaban yang dikehendaki maka respons tersebut benar dan biasa diberi skor 1. Apabila kondisi yang terjadi sebaliknya, maka respons siswa salah dan biasa diberi skor 0. Jawaban siswa bersifat mengarah kepada satu jawaban yang benar (convergence).
Soal tes objektif sangat bermanfaat untuk mengukur hasil belajar kognitif tingkat rendah. Hasil-hasil belajar kompleks seperti menciptakan dan mengorganisasikan gagasan kurang cocok diukur menggunakan soal bentuk ini.
Soal objektif sangat bervariasi bentuknya. Variasi yang bisa dibuat dari soal objektif adalah benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan, melengkapi dan jawaban singkat.
Tes bentuk ini mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, penilaiannya yang sangat objektif. Sebuah jawaban hanya mempunyai dua kemungkinan, benar atau salah. Kunci jawaban memberikan informasi apakah jawaban anak benar atau salah. Toleransi di antara salah dan benar tidak diberikan karena tingkat kebenarannya bersifat mutlak.
`           Keuntungan ini membuat soal objektif memiliki reliabilitas yang tinggi, siapapun yang menilai dan kapanpun dinilai, hasilnya akan tetap sama. Kedua, dalam tes bentuk objektif dimungkinkan dapat ditulis butir soal dalam jumlah banyak. Butir soal yang banyak memungkinkan untuk mencakup semua daerah prestasi yang hendak diukur. Kemampuan sampel butir soal meliputi semua daerah prestasi menjadikan pengambilan butir soalnya representatif.
Di samping kelebihan itu, tes objektif juga mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, tes objektif diragukan kemampuannya untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan tinggi. Walaupun ada yang berpendapat bahwa soal objektif dapat juga digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tingkat tinggi, namun sebenarnya hanya memanipulasi data yang telah ada pada soal.
Dalam hal ini pengambil tes tidak menciptakan sendiri unsur yang diperlukan untuk menjawab soal, sehingga menjadi tingkat rendah lagi. Kedua, peluang melakukan tebakan (guessing) sangat tinggi. Pengambil tes akan menggunakan semua informasi yang diingatnya untuk menjawab soal. Namun, ketika informasi yang disimpannya tidak cukup untuk secara pasti menjawab soal maka dia menebaknya.
Meski banyak dikritik karena kelemahannya untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan tingkat tinggi, namun tes objektif masih menjadi kebutuhan. Banyak sekali tes yang ditulis dalam bentuk objektif, misalnya EBTANAS, EBTA, TPA, dan tes hasil belajar di kelas. Dengan beberapa keterbatasannya, soal bentuk ini dapat mengukur secara baik kemampuan anak apabila dirancang dengan baik.
Merujuk kepada berbagai pendapat tentang tes objektif dapat diambil kesimpulan bahwa tes objektif adalah tes yang semua informasi yang diperlukan peserta tes untuk memberikan respon telah disediakan oleh penyusun tes, sehingga peserta tes tinggal memilihnya. Jawaban yang berupa pilihan bersifat deterministik, sehingga hanya ada dua kemungkinan kebenaran jawaban – benar atau salah.


2. Tes esai
Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari pertanyaan atau suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang Nurkancana dan Sumartana (1986: 42). Tes dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang diperlukan untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh pengambil tes. Peserta tes harus menyusun sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat dalam merumuskan jawabannya. Butir soal mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 33), constructed-response tests are those that call for the examinee to produce something (Popham, 1981 : 266).
Bentuk-bentuk pertanyaan atau suruhan meminta pada murid-murid untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan dan mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid menunjukkan pengertian mereka terhadap materi yang dipelajari. Tes esai digunakan untuk mengatasi kelemahan daya ukur soal objektif yang terbatas pada hasil belajar rendah. Soal tes bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar yang level kognisinya lebih dari sekedar memanggil informasi, karena hasil belajar yang diukur bersifat kompleks (Subino, 1987 : 1) dan sangat mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan gagasan (Grounlund, 1981 : 71). Grounlund (1985 : 211) mengatakan, Some aspects of complex achievement are difficult to measure objectively. Learning outcomes that indicate pupils are to originate ideas, to organize and express ideas, and to integrate ideas in a global attack on a problem, require the greater freedom of response provided by essay test.
Soal uraian (essay) berbeda dengan soal objektif dalam kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari 100% benar dan 100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian jawaban siswa dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci. Jawaban mungkin mengarah kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa 0%, 20%, 30%, 50%, 70%, atau 100% tergantung ketepatan jawabannya.
Di banding dengan tes objektif, soal esai mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, kekuatan soal untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan melibatkan level kognitif yang tinggi. Kedua, memberi kesempatan pada anak untuk menyusun jawaban sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Kecakapan ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena individu dalam masyarakat tidak hanya mengadakan pilihan terhadap alternatif-alternatif tapi harus menggunakan alternatif lain yang lebih berguna (Nurkancana dan Sumartana, 1986 : 42).
Meski soal esai sangat berguna, namun memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terdapat subjektivitas dalam penilaiannya karena penilai yang berbeda atau situasi yang berbeda. Dua atau lebih penilai memberikan penilaian terhadap jawaban yang sama atau seorang penilai menilai sebuah jawaban pada situasi yang berbeda sangat mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. Kedua, tes esai menghendaki jawaban yang panjang, sehingga tidak memungkinkan ditulis butir tes dalam jumlah banyak. Akibatnya, soal tidak representatif dalam mengukur kemampuan yang diharapkan. Ketiga, penggunaan soal esai membutuhkan waktu koreksi yang lama dalam menentukan nilai.
Mengenai tes esai, berdasarkan berbagai pendapat dapat disimpulkan sebagai tes yang semua unsur yang diperlukan oleh peserta tes untuk menjawabnya harus diciptakan, dicari dan disusun sendiri. Jawaban yang berupa uraian menyebabkan tingkat kebenarannya berderajad, sesuai dengan tingkat kesesuaian jawaban dengan kunci jawabannya.
Sehubungan dengan penggunaan bentuk tes objektif dan esai, tes objektif memberikan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan tes esai. Hal demikian bisa terjadi karena tes objektif umumnya hanya mampu mengukur level kognisi yang paling rendah, yaitu ingatan. Tingkat ingatan (C1) dalam taksonomi Bloom memerlukan kemampuan yang paling rendah dalam perolehan hasil belajar. Taksonomi disusun dari level kognisi yang paling sederhana, yaitu ingatan (C1) hingga yang paling kompleks yaitu evaluasi (C6). The major categories in the cognitive domain are knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis and evaluation. These categories begin with the relatively simple knowledge outcomes and proceed through increasingly complex levels of intellectual ability (Grounlund, 1985 : 32).

D. TINGKAH LAKU BELAJAR
Kajian tentang bagaimana manusia belajar telah banyak dilakukan oleh para ahli. Minat terhadap kajian ini dilandasi oleh keinginan untuk memberikan pelayanan pengajaran dengan hasil yang maksimal.
Pengajaran adalah proses membuat belajar terjadi di dalam diri anak. Pengajaran bukanlah menginformasikan materi agar dikuasai oleh anak, tetapi memberikan kondisi agar anak mengusahakan terjadi belajar dalam dirinya. Anak dalam hal ini tidak dalam kedudukan yang pasif, tapi aktif mengusahakan terjadinya proses belajarnya sendiri.
Oleh karena pengajaran dilakukan untuk membuat anak belajar, maka pengajaran akan dilakukan secara baik dengan memahami bagaimana proses belajar terjadi pada anak. Pengajaran harus didasarkan pada pemahaman tentang bagaimana anak belajar.
Tingkah laku belajar adalah cara bagaimana individu mengusahakan belajar terjadi di dalam dirinya. Setiap manusia mempunyai cara yang khas untuk mengusahakan proses belajar terjadi di dalam dirinya. Namun, secara tipikal berbagai tingkah laku belajar itu dapat dikenali polanya.
Telah banyak ahli yang memberikan penjelasan bagaimana belajar terjadi di dalam diri manusia. Secara garis besar ada dua aliran yang berpengaruh luas dalam menjelaskan proses belajar, yaitu aliran perilaku (behavouristic) dan kognitif. Aliran itu selanjutnya melahirkan teori-teori belajar, di mana teori belajar perilaku cenderung merekomendasikan untuk belajar dengan cara menghafal, dan teori belajar kognitif lebih menyarankan untuk belajar dengan memahami.
1. Tingkah Laku Belajar Menghafal
Teori belajar perilaku diilhami oleh aliran empirisme dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Locke. Menurut aliran ini, satu-satunya determinan perkembangan manusia adalah lingkungan. Semua pengalaman merupakan akibat dari interaksi individu dengan lingkungan. Pengalaman datangnya dari indera (sensory).
Pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan dan perubahan perilaku. Akal hanyalah tempat penampungan yang pasif menerima hasil-hasil penginderaan. Dalam pandangan empirisme (sensasionalisme), “semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman inderawi yang pertama, seperti atom-atom yang menyusun objek material. Apa yang tidak dapat dilacak kembali bukanlah pengetahuan….” (Kattsoff, 1996: 137).
Dalam pandangan teori behavioristik, belajar merupakan sebuah perilaku membuat hubungan antara stimulus (S) dan respons (R) dan memperkuatnya. Pengertian dan pemahaman tidaklah penting karena S dan R dapat diperkuat dengan menghubungkannya secara berulang-ulang melalui menghafal (memorizing) sehingga diperoleh perubahan belajar yang diinginkan.
Menurut teori belajar perilaku, belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati melalui kaitan antara stimulus dan respons menurut prinsip yang mekanistik (Dahar, 1988 : 24). Dasar belajar adalah asosiasi antara kesan (impression) dengan dorongan untuk berbuat (impuls to action).
Asosiasi itu menjadi kuat atau lemah dengan terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan (Bower dan Hilgard, 1981 : 21). Eksperimen Pavlov menunjukkan bahwa pengulangan itu dapat menimbulkan tingkah laku dengan mengubah respons bersyarat menjadi renpons tanpa syarat (Bower dan Hilgard, 1981 : 49). Proses belajar dilakukan dengan menghafal secara berulang-ulang.
Belajar itu terjadi karena adanya ikatan antara stimulus dan respons (S-R bonds). Ikatan itu menjadi makin kuat dalam latihan/pengulangan dengan cara menghafal. Para behavouris meyakini bahwa hasil belajar akan lebih baik dikuasai kalau dihafal secara berulang-ulang. Belajar tidak memerlukan pemahaman karena terbentuknya hanya karena ikatan S-R yang diperkuat dengan pengulangan dalam menghafal (law of exercise). Teori ini didukung oleh hasil eksperimen yang dilakukan oleh para ahli psikologi seperti Thorndike, Pavlov, Skinner dan Guthrie.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar dengan menghafal adalah belajar dengan secara berulang-ulang mengikatkan koneksi antara stimulus dan respons agar koneksinya makin kuat.

2. Tingkah Laku Belajar Memahami
Teori belajar kognitif dipengaruhi oleh aliran rasionalisme. Pengetahuan datangnya dari penalaran. Rene Descartes mengatakan, saya berpikir maka saya ada (cogito ergo sum). Dalam pandangan rasionalis, pengalaman hanya dipandang sebagai perangsang bagi pikiran. Kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide, bukan dalam diri barang sesuatu (Kattsoff, 1996 : 139). Penalaran merupakan sumber valid dari pengetahuan. Panca indera itu tidak terstruktur, acak dan hanya memberikan bahan untuk belajar. Di atas itu semua, pikiran yang aktif bekerja.
Keharusan akan perlunya pengertian dan pemahaman dalam belajar menjadi kondisi yang mutlak harus terpenuhi dalam pandangan teori-teori kognitif. Menurut teori ini, belajar berlangsung dalam pikiran sehingga sebuah perilaku hanya disebut belajar apabila siswa yang belajar telah mencapai pemahaman (understanding).
Dalam teori belajar kognitif, seseorang hanya dapat dikatakan belajar apabila telah memahami keseluruhan persoalan secara mendalam (insight). Memahami itu berkaitan dengan proses mental : bagaimana impresi indera dicatat dan disimpan dalam otak dan bagaimana impresi-impresi itu digunakan dalam memecahkan masalah (Dahar, 1988 : 25).
Belajar yang bersifat mekanistik dan tanpa pemahaman dipertanyakan manfaatnya. Pemecahan masalah tidak dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang tidak bermakna. Gagne mengatakan bahwa hasil belajar adalah terbentuknya konsep, yaitu kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada di lingkungan, yang menyediakan skema yang terorganisasi untuk mengasimilasi stimulus-stimulus baru dan menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori (Dahar, 1988 : 95).
Dalam belajar, menurut Bruner, orang mengkonstruksi pengetahuan dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang diperoleh dan disimpan sebelumnya (Dahar, 1988 : 119) yang ada dalam struktur kognitif kita (Ausuble dalam Dahar, 1988 : 134). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Keduanya tidak dapat diteruskan dalam bentuk jadi, sehingga anak harus membangun (mengkonstruksi) sendiri pengetahuannya (Piaget dalam Dahar, 1988 : 192).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar dengan memahami adalah belajar yang memberikan tekanan pada dikuasainya materi pelajaran secara menyeluruh (insightful) karena memahami hubungan satu materi dengan yang lain.
Dalam berbagai tingkah laku belajar anak, mereka yang belajar dengan memahami akan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik daripada mereka yang belajar dengan menghafal. Hal itu disebabkan karena belajar dengan memahami membuat anak memiliki hubungan yang utuh dari sebuah konsep. Keutuhan pemahaman itu memungkinkan anak belajar lebih bermakna daripada sekedar menghafal berulang-ulang tanpa makna.

E. BENTUK TES DAN TINGKAH LAKU BELAJAR
Tingkah laku belajar anak sangat dipengaruhi oleh bentuk tes yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar. Bentuk tes yang telah dapat diprediksikan berdasarkan pengalaman yang berulang dan diberi tahukannya bentuk tes yang dihadapi akan membuat anak mengorganisasi strategi belajarnya menyesuaikan bentuk tes yang akan dihadapi.
Bentuk tes mempengaruhi bagaimana anak terlibat dalam proses belajar. Pemilihan cara belajar sebagian ditentukan oleh bagaimana anak menghadapi evaluasinya. Reaksi anak terhadap suatu rangsangan (stimulus) sangat tergantung kepada hasilnya sebagai hadiah (reward). Azwar (1987 : 13) mengatakan bahwa para siswa yang mengharapkan adanya tes akan cenderung untuk belajar dan mereka cenderung akan mempelajari apa yang diharapkan akan ditanyakan dalam tes. Grounlund (1985 : 9) mengatakan, “Antisipasi mengenai adanya tes memperbesar kegiatan belajar dan sifat atau corak tes yang ditunggu-tunggu menyalurkan dan mengarahkan corak belajar yang dilakukan”.
Bentuk tes dapat mempengaruhi perilaku belajar siswa yang akan mengambilnya. Siswa akan belajar dengan pola bagaimana tes dirancang. Apabila tes dirancang sebagai tes objektif maka siswa akan belajar dengan menghafal, dan apabila tes dirancang sebagai tes esai maka siswa akan belajar dengan memahami.
Akibatnya, siswa cenderung belajar dengan menghafal kalau menghadapi soal objektif dan cenderung belajar dengan memahami kalau menghadapi soal esai.
1. Tes Objektif dan Menghafal
Tes objektif akan direspons oleh anak dengan belajar menghafal. Sehubungan dengan hasil belajar dalam kawasan kognitif yang disusun taksonominya oleh Bloom, maka tingkah laku belajar menghafal memiliki preferensi untuk mengambil tes objektif. Karena pengetahuan (knowledge) Bloom lebih banyak berhubungan dengan ingatan maka dapat dikelompokkan sebagai belajar menghafal (rote learning) (Sukmadinata, 2000 : 139).
Hal itu disebabkan karena butir-butir tes objektif menyediakan semua informasi yang diperlukan untuk menjawab soal, sehingga hasil belajar biasanya merupakan pemanggilan informasi (recalling) dari ingatan. Hasil belajar berupa hafalan pada umumnya diukur dengan tes objektif karena dapat lebih mudah disesuaikan dengan hasil belajar tertentu yang akan diukur, memungkinkan pengadaan sampel tingkah laku yang lebih tepat dan dapat dinilai lebih cepat dan objektif (Grounlund, 1981 : 37). Orang yang belajar dengan menghafal diuntungkan oleh tes objektif karena dia terbiasa menghafal informasi untuk disimpan dalam ingatan dan tes objektif adalah alat yang baik untuk mengukur fakta dan hasil belajar langsung yang berkenaan dengan hafalan (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 57).
Dari berbagai pendapat di atas, dapat diketahui bahwa para peserta tes yang belajar dengan menghafal akan memperoleh hasil yang lebih baik daripada mereka yang belajar dengan memahami di dalam merespons tes objektif.

2. Tes Esai dan Memahami
Siswa akan belajar hingga mendapatkan pemahaman untuk menghadapi soal esai. Hal itu disebabkan karena untuk mampu menjawab soal esai dibutuhkan pemahaman secara menyeluruh. Pemahaman secara fragmentaristik tidak dapat digunakan untuk menjawab soal esai. Soal esai menuntut kemampuan tingkat tinggi dalam level kognisi, seperti kemampuan menganalisa, menyusun sintesa dan melakukan evaluasi.
Soal tes bentuk esai lebih menekankan pengintegrasian dan pengaplikasian berpikir dan pemecahan masalah (Subino, 1987 : 4). Hasil belajar bersifat kompleks dan bila dirinci menjadi hasil belajar yang lebih sederhana dapat kehilangan arti globalnya, sebab hubungan antara komponen hasil belajar yang satu dengan yang lain sangat erat. Hasil belajar seperti ini seharusnya diukur dengan menggunakan tes uraian (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 34).
Tes esai dan belajar dengan memahami merupakan pengaruh aliran psikologi kognitif. Menurutnya, belajar terjadi dalam otak manusia sehingga belajar hanya terjadi apabila terbentuk pemahaman (insightful learning) (Ditjen Dikti Depdikbud, 1981, 31). Banyak kemampuan manusia yang tidak memungkinkan untuk diukur dengan soal objektif, karena keterbatasan soal objektif dalam mengungkapnya. Berbagai proses belajar yang menuntut kemampuan menyelidik, kemampuan menemukan masalah, memilih cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya tidak mungkin diukur dengan tes hasil belajar dalam bentuk objektif (Soedijarto, 1993 : 55).
Sehubungan dengan hasil belajar dalam taksonomi tujuan pengajarannya Bloom, level kognisi mulai pemahaman hingga evaluasi menuntut belajar secara bermakna (Sukmadinata, 2000 : 139). Siswa yang belajar sampai mendapatkan pemahaman akan diuntungkan oleh bentuk tes esai. Pemahaman yang komprehensif terhadap problem menyebabkan siswa memiliki kemampuan menungkan gagasannya lebih baik sebagaimana dituntut oleh tes esai.


F. KESIMPULAN
Dari berbagai teori yang dipaparkan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Hasil Belajar dan Bentuk Tes
a.       Hasil belajar dan tes objektif
Hasil belajar tes objektif mengukur kemampuan atau perubahan perilaku pada level kognisi yang rendah/sederhana
b.      Hasil belajar dan tes esai
Hasil belajar tes esai mengukur kemampuan atau perubahan perilaku pada level kognisi yang lebih kompleks
c.       Hasil belajar pada tes objektif dan esai
Hasil belajar dari tes objektif lebih baik daripada tes esai, karena tes objektif sedikit menuntut taraf berpikir tingkat tinggi.

2. Hasil belajar dan tingkah laku belajar
a.       Hasil belajar dan tingkah laku belajar menghafal
b.      Hasil belajar dari belajar menghafal adalah hafalan, yaitu pengulangan secara terus-menerus koneksi antara stimulus dan respons
c.       Hasil belajar dan tingkah laku belajar memahami
d.      Hasil belajar adalah konsep yang dipahami dalam hubungan keseluruhan (gestalt/insigtful). c. Hasil belajar pada tingkah laku belajar menghafal dan memahami Hasil belajar dari belajar memahami lebih baik daripada menghafal, karena dengan memahami materi dapat diretensi, ditransfer dan direproduksi kembali secara lebih efektif.



3. Hasil Belajar dengan Berbagai Bentuk Tes pada Berbagai Tingkah Laku Belajar
a.       Hasil belajar pada bentuk tes objektif dan esai
b.      Hasil belajar dari tes objektif lebih baik daripada tes esai karena tuntutan level kognisi yang rendah.
c.       Hasil belajar pada tingkah laku belajar menghafal dan memahami
d.      Hasil belajar dengan belajar memahami lebih baik daripada menghafal, karena pemahaman membuat materi dapat diretensi, ditransfer dan direproduksi kembali secara efektif.
e.       Perbedaan hasil belajar pada berbagai bentuk tes dan tingkah laku belajar
1.    Pada belajar dengan menghafal, hasil belajar dengan tes objektif lebih baik daripada tes esai. Tes objektif mengukur hasil belajar tingkat rendah, yaitu ingatan, yang menguntungkan peserta tes yang belajar dengan menghafal.
2.    Pada belajar dengan memahami, hasil belajar dengan tes esai lebih baik daripada tes objektif.  Tes esai mengukur hasil belajar yang kompleks menguntungkan peserta tes yang belajar dengan memahami.

G. IMPLIKASI
Dari kesimpulan tersebut dapat dilihat bahwa tes objektif hanya mengukur level kognisi yang sangat rendah yang dipelajari dengan menghafal. Akibatnya, hasil belajar tidak banyak memberikan makna karena hanya mencerminkan kemampuan menghafal siswa dan tidak mencerminkan pemahamannya. Padahal, dalam kehidupan manusia dituntut untuk membuat pilihan-pilihannya sendiri dan bukan memilih pilihan yang tersedia. Hal ini mengakibatkan ilmu yang dipelajari tidak memberikan sumbangan bagi pemupukan keterampilan hidup (life skills).




DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, Anne dan Urbina, Susana (1997). Tes Psikologi. Terjemahan oleh R. Hariono S. Imam. Jakarta : Prenhallindo Arikunto, Suharsimi (1995).
Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Azwar, Saifuddin (1987).
Tes Prestasi. Yogyakarta : Liberty Bower, Gordon H dan Hilgard, Ernest R (1981).
Theories of Learning. Engkewood Cliffs, NJ : Prentice Hall, Inc. Dahar, Ratna Willis. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta : P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud (1981).
Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Jakarta : Ditjen Dikti Depdikbud Grounlund, Nourman E (1981).
 Constructing Achievement Test. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. Grounlund, Nourman E dan Linn, Robert L (1985).
Measurement and Evaluation in Teaching. New York : McMillan Publishing Company Kattsoff, Louis O. (1996).
Pengantar Filsafat. Alih bahasa oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana Yogya Nurkancana, Wayan dan Sumartana, PPN (1986).
Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional Popham, W James (1981).
Modern Educational Measurement. Englewood Cliffs, NJ : Prentice Hall, Inc. Soedijarto (1993). Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta : Balai Pustaka Subino. (1987).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar