BENTUK
TES DAN TINGKAH LAKU BELAJAR
A. PENGANTAR
Evaluasi hasil belajar dengan menggunakan tes objektif
mulai banyak ditinggalkan karena alasan kelemahan yang melekat pada tes bentuk
ini. Kebijakan baru Departemen Pendidikan Nasional untuk menghapus penggunaan
Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) pada beberapa jenjang pendidikan
merupakan sebuah contoh.
Berbagai keberatan penggunaan Ebtanas untuk mengevaluasi
hasil belajar tahap akhir salah satunya disebabkan karena bentuk tesnya yang
bersifat objektif. Hasil belajar dari tes bentuk objektif itu dinilai tidak
memiliki arti apapun, karena sebenarnya perangkat tes itu hanya mengukur
tingkat kognisi yang sangat rendah. Tes itu hanya memberi keuntungan bagi
mereka yang belajar dengan menghafal dan merugikan mereka yang belajar dengan
memahami. Akibatnya, tes bentuk ini memberikan penghargaan bagi para penghafal
dan menghasilkan manusia-manusia penghafal dalam masyarakat.
Padahal, dalam kehidupan masyarakat, manusia yang
diperlukan adalah manusia yang memiliki prakarsa-prakarsa kreatif dalam
pembangunan dan mampu melakukan transfer apa yang dipelajari dalam kehidupan
masyarakat (transfer of training). Tanpa kemampuan transfer, apa yang
dipelajari tidak berguna, karena belajar bukan semata untuk mendapatkan
pengetahuan (ilmu), tapi untuk mendapatkan pemahaman (kawruh).
Tulisan ini mengkaji pengaruh bentuk tes terhadap hasil
belajar pada berbagai tingkah laku belajar. Oleh karena itu terdapat tiga
variabel yang terlibat dalam kajian ini : hasil belajar, bentuk tes dan tingkah
laku belajar. Secara terperinci masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
B. HASIL BELAJAR
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata
yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product)
menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses
yang mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah
perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw materials)
menjadi barang jadi (finished goods).
Hal yang sama berlaku untuk memberikan batasan bagi
istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil pembangunan, termasuk hasil
belajar. Dalam siklus input-proses-hasil, hasil dapat dengan jelas dibedakan
dengan input akibat perubahan oleh proses. Begitu pula dalam kegiatan belajar
mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya dibanding
sebelumnya. Hubungan itu digambarkan oleh Grounlund (1985 : 25) sebagai
berikut:
Belajar adalah proses dalam diri
individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam
perilakunya. Perubahan itu diperoleh melalui usaha (bukan karena kematangan),
menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman.
Belajar merupakan proses yang unik dan
kompleks. Keunikan itu disebabkan karena hasil belajar hanya terjadi pada
individu yang belajar, tidak pada orang lain dan setiap individu menampilkan
perilaku belajar yang berbeda. Perbedaan penampilan itu disebabkan karena
setiap individu mempunyai karakteristik individualnya yang khas, seperti minat,
intelegensi, perhatian, bakat dan sebagainya.
Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya
perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan
perolehan yang menjadi hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang
mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel, 1999 :
51). Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang
dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom, E. Simpson dan A. Harrow (Winkel, 1999 :
244) mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Proses pengajaran merupakan sebuah aktivitas
sadar untuk membuat siswa belajar. Proses sadar mengandung implikasi bahwa
pengajaran merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan
pengajaran (goal directed). Dalam konteks demikian maka hasil belajar merupakan
perolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan tujuan pengajaran (ends are
being attained).
Tujuan pengajaran menjadi hasil belajar
potensial yang akan dicapai oleh anak melalui kegiatan belajarnya. Oleh
karenanya, tes hasil belajar sebagai alat untuk mengukur hasil belajar harus
mengukur apa yang dipelajari dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan
instruksional yang tercantum dalam kurikulum yang berlaku (Zainul dan
Nasoetion, 1996 : 28) karena tujuan pengajaran adalah kemampuan yang diharapkan
dimiliki oleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya (Sudjana, 1996
: 3). Hasil belajar yang diukur merefleksikan tujuan pengajaran (Grounlund,
1981 : 20).
Tujuan pengajaran adalah tujuan yang
menggambarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh
siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah
laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Oleh karenanya, menurut Arikunto
(1995 : 131) dalam merumuskan tujuan instruksional harus diusahakan agar nampak
bahwa setelah tercapainya tujuan itu terjadi adanya perubahan pada diri anak
yang meliputi kemampuan intelektual, sikap/minat maupun keterampilan.
Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan
siswa memiliki penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam
kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran. Pemberian tekanan
penguasaan materi akibat perubahan dalam diri siswa setelah belajar diberikan
oleh Soedijarto (1993 : 49) yang mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat
penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti proses belajar mengajar
sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan siswa terhadap
materi pelajaran sebagai akibat dari perubahan perilaku setelah mengikuti
proses belajar mengajar berdasarkan tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Hasil
belajar itu akan diukur dengan sebuah tes.
C. BENTUK TES
Tes berasal dari kata “testum” dari bahasa Perancis yang
berarti piring untuk menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir,
batu, tanah, dan sebagainya. Istilah itu kemudian diadopsi dalam psikologi dan
pendidikan untuk menjelaskan sebuah alat yang digunakan untuk melihat anak-anak
yang merupakan “logam mulia” di antara anak yang lain.
Menurut Webster’s Collegiate, tes adalah serangkaian
pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur
keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki
oleh individu atau kelompok (Arikunto, 1995 : 29). Cronbach (Azwar, 1987 : 3)
mendefinisikan tes sebagai “a systematic procedure for observing a person’s
behavior and describing it with the aid of a numerical scale or category
system”.
Dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan. Pertama,
tes merupakan prosedur sistematis. Butir-butir tes disusun menurut cara dan
aturan tertentu, prosedur administrasi dan pemberian angka (scoring) harus
jelas dan spesifik, dan setiap orang yang mengambil tes harus mendapat
butir-butir yang sama dan dalam kondisi yang sebanding. Kedua, tes berisi
sampel perilaku.
Populasi butir tes yang bisa dibuat dari suatu materi
tidak terhingga jumlahnya. Keseluruhan butir itu mustahil dapat seluruhnya
tercakup dalam tes. Kelayakan tes lebih tergantung kepada sejauh mana
butir-butir di dalam tes mewakili secara representatif kawasan (domain)
perilaku yang diukur. Ketiga, tes mengukur perilaku. Butir-butir tes
menghendaki subjek agar menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang dipelajari
subjek dengan cara menjawab butir-butir atau mengerjakan tugas yang dikehendaki
oleh tes. Respon subjek atas tes merupakan perilaku yang ingin diketahui dari
penyelenggaraan tes.
Sebuah tes psikologi pada dasarnya adalah alat ukur yang
objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu (Anastasi dan Urbina, 1997
: 3). Dalam psikologi, tes dapat diklasifikasikan menjadi empat. Pertama, tes
yang mengukur intelegensia umum (general intelligence test). Tes ini dirancang
untuk mengukur kemampuan umum seseorang dalam suatu tugas. Kedua, tes yang
mengukur kemampuan khusus atau tes bakat (special ability test). Tes ini
digunakan untuk mengungkap kemampuan potensial subjek dalam bidang tertentu.
Ketiga, tes yang mengukur prestasi (achievement test).
Tes ini dimaksudkan untuk mengungkapkan kemampuan aktual
sebagai hasil belajar. Keempat, tes yang mengungkap aspek kepribadian
(personality assesment). Tes ini mengungkap karakteristik individual subjek
dalam aspek yang diukur.
Merujuk kepada penggolongan di atas, tes yang dipakai di
kelas yang menjadi pembahasan ini adalah tes prestasi atau hasil belajar. Di
dalam kelas, tes merupakan salah satu alat evaluasi untuk menggali informasi
tentang sejauhmana penguasaan anak terhadap suatu materi (mastering test). Tes
diadministrasikan untuk mengetahui performansi maksimum (Cronbach dalam Azwar,
1987 : 8). Tes hasil belajar adalah suatu prosedur sistematik untuk mengetahui
jumlah bahan yang dipelajari oleh seorang siswa (Grounlund, 1981 : 1). Jadi,
tes berfungsi sebagai “alat timbang” untuk mengetahui “bobot” kemampuan yang
dimiliki anak.
Tes dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori.
Berdasarkan bentuk pertanyaannya, tes dapat berbentuk objektif dan esai
(Grounlund, 1981; Grounlund dan Linn, 1985; Popham, 1981; Nurkancana dan
Sumartana, 1986; Arikunto, 1995; Subino, 1987).
1. Tes Objektif
Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang
diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karena sifatnya yang demikian
Popham (1981 : 235) menyebutnya dengan istilah tes pilihan jawaban (selected
response test). Butir soal telah mengandung kemungkinan jawaban yang harus
dipilih atau dikerjakan oleh peserta tes.
Kemungkinan jawaban telah dipasok oleh pengkonstruksi tes
dan peserta hanya memilih jawaban dari kemungkinan jawaban yang telah
disediakan (Zainul dan Nasoetion, 1996). Menurut Subino (1987 : 4) perbedaan
yang khas bentuk soal objektif dibanding dengan soal esai adalah tugas peserta
tes (testee) dalam merespons tes. Pada tes objektif, tugas testi adalah
memanipulasikan data yang telah ada dalam butir soal. Hal ini berbeda dengan
soal esai dimana testi harus menciptakan dan mencari sendiri unsur-unsur yang
dibutuhkan untuk menjawab soal.
Sebagaimana nama yang digunakannya, soal objektif adalah
soal yang tingkat kebenarannya objektif. Oleh karenanya, tes objektif adalah
tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif (Arikunto, 1995 :
165). Karena sifatnya yang objektif maka penskorannya dapat dilakukan dengan
bantuan mesin. Soal ini tidak memberi peluang untuk memberikan penilaian yang
bergradasi karena dia hanya mengenal benar dan salah. Apabila respons siswa
sesuai dengan jawaban yang dikehendaki maka respons tersebut benar dan biasa
diberi skor 1. Apabila kondisi yang terjadi sebaliknya, maka respons siswa
salah dan biasa diberi skor 0. Jawaban siswa bersifat mengarah kepada satu
jawaban yang benar (convergence).
Soal tes objektif sangat bermanfaat untuk mengukur hasil
belajar kognitif tingkat rendah. Hasil-hasil belajar kompleks seperti
menciptakan dan mengorganisasikan gagasan kurang cocok diukur menggunakan soal
bentuk ini.
Soal objektif sangat bervariasi bentuknya. Variasi yang
bisa dibuat dari soal objektif adalah benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan,
melengkapi dan jawaban singkat.
Tes
bentuk ini mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, penilaiannya yang sangat
objektif. Sebuah jawaban hanya mempunyai dua kemungkinan, benar atau salah.
Kunci jawaban memberikan informasi apakah jawaban anak benar atau salah.
Toleransi di antara salah dan benar tidak diberikan karena tingkat kebenarannya
bersifat mutlak.
` Keuntungan ini membuat soal objektif
memiliki reliabilitas yang tinggi, siapapun yang menilai dan kapanpun dinilai,
hasilnya akan tetap sama. Kedua, dalam tes bentuk objektif dimungkinkan dapat
ditulis butir soal dalam jumlah banyak. Butir soal yang banyak memungkinkan
untuk mencakup semua daerah prestasi yang hendak diukur. Kemampuan sampel butir
soal meliputi semua daerah prestasi menjadikan pengambilan butir soalnya
representatif.
Di samping kelebihan itu, tes objektif juga mempunyai
beberapa kelemahan. Pertama, tes objektif diragukan kemampuannya untuk mengukur
hasil belajar yang kompleks dan tinggi. Walaupun ada yang berpendapat bahwa
soal objektif dapat juga digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tingkat tinggi,
namun sebenarnya hanya memanipulasi data yang telah ada pada soal.
Dalam hal ini pengambil tes tidak menciptakan sendiri
unsur yang diperlukan untuk menjawab soal, sehingga menjadi tingkat rendah
lagi. Kedua, peluang melakukan tebakan (guessing) sangat tinggi. Pengambil tes
akan menggunakan semua informasi yang diingatnya untuk menjawab soal. Namun,
ketika informasi yang disimpannya tidak cukup untuk secara pasti menjawab soal
maka dia menebaknya.
Meski banyak dikritik karena kelemahannya untuk mengukur
hasil belajar yang kompleks dan tingkat tinggi, namun tes objektif masih
menjadi kebutuhan. Banyak sekali tes yang ditulis dalam bentuk objektif,
misalnya EBTANAS, EBTA, TPA, dan tes hasil belajar di kelas. Dengan beberapa
keterbatasannya, soal bentuk ini dapat mengukur secara baik kemampuan anak
apabila dirancang dengan baik.
Merujuk kepada berbagai pendapat tentang tes objektif
dapat diambil kesimpulan bahwa tes objektif adalah tes yang semua informasi
yang diperlukan peserta tes untuk memberikan respon telah disediakan oleh
penyusun tes, sehingga peserta tes tinggal memilihnya. Jawaban yang berupa
pilihan bersifat deterministik, sehingga hanya ada dua kemungkinan kebenaran
jawaban – benar atau salah.
2. Tes esai
Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari
pertanyaan atau suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang
relatif panjang Nurkancana dan Sumartana (1986: 42). Tes dirancang untuk
mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang diperlukan untuk menjawab soal
dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh pengambil tes. Peserta tes harus
menyusun sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat dalam merumuskan jawabannya.
Butir soal mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal
tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes
(Zainul dan Nasoetion, 1996 : 33), constructed-response tests are those that
call for the examinee to produce something (Popham, 1981 : 266).
Bentuk-bentuk pertanyaan atau suruhan meminta pada
murid-murid untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan dan mencari
perbedaan. Semua bentuk pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid
menunjukkan pengertian mereka terhadap materi yang dipelajari. Tes esai
digunakan untuk mengatasi kelemahan daya ukur soal objektif yang terbatas pada
hasil belajar rendah. Soal tes bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar
yang level kognisinya lebih dari sekedar memanggil informasi, karena hasil
belajar yang diukur bersifat kompleks (Subino, 1987 : 1) dan sangat
mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan gagasan
(Grounlund, 1981 : 71). Grounlund (1985 : 211) mengatakan, Some aspects of complex achievement are difficult to measure objectively.
Learning outcomes that indicate pupils are to originate ideas, to organize and
express ideas, and to integrate ideas in a global attack on a problem, require
the greater freedom of response provided by essay test.
Soal uraian (essay) berbeda dengan soal objektif dalam
kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari 100% benar dan
100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian jawaban siswa
dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci. Jawaban mungkin mengarah
kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa 0%,
20%, 30%, 50%, 70%, atau 100% tergantung ketepatan jawabannya.
Di banding dengan tes objektif, soal esai mempunyai
beberapa keunggulan. Pertama, kekuatan soal untuk mengukur hasil belajar yang
kompleks dan melibatkan level kognitif yang tinggi. Kedua, memberi kesempatan
pada anak untuk menyusun jawaban sesuai dengan jalan pikirannya sendiri.
Kecakapan ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena individu dalam
masyarakat tidak hanya mengadakan pilihan terhadap alternatif-alternatif tapi
harus menggunakan alternatif lain yang lebih berguna (Nurkancana dan Sumartana,
1986 : 42).
Meski soal esai sangat berguna, namun memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, terdapat subjektivitas dalam penilaiannya karena penilai
yang berbeda atau situasi yang berbeda. Dua atau lebih penilai memberikan
penilaian terhadap jawaban yang sama atau seorang penilai menilai sebuah
jawaban pada situasi yang berbeda sangat mungkin menghasilkan nilai yang
berbeda. Kedua, tes esai menghendaki jawaban yang panjang, sehingga tidak
memungkinkan ditulis butir tes dalam jumlah banyak. Akibatnya, soal tidak
representatif dalam mengukur kemampuan yang diharapkan. Ketiga, penggunaan soal
esai membutuhkan waktu koreksi yang lama dalam menentukan nilai.
Mengenai tes esai, berdasarkan berbagai pendapat dapat
disimpulkan sebagai tes yang semua unsur yang diperlukan oleh peserta tes untuk
menjawabnya harus diciptakan, dicari dan disusun sendiri. Jawaban yang berupa uraian
menyebabkan tingkat kebenarannya berderajad, sesuai dengan tingkat kesesuaian
jawaban dengan kunci jawabannya.
Sehubungan dengan penggunaan bentuk tes objektif dan
esai, tes objektif memberikan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan
tes esai. Hal demikian bisa terjadi karena tes objektif umumnya hanya mampu
mengukur level kognisi yang paling rendah, yaitu ingatan. Tingkat ingatan (C1)
dalam taksonomi Bloom memerlukan kemampuan yang paling rendah dalam perolehan
hasil belajar. Taksonomi disusun dari level kognisi yang paling sederhana,
yaitu ingatan (C1) hingga yang paling kompleks yaitu evaluasi (C6). The major
categories in the cognitive domain are knowledge, comprehension, application,
analysis, synthesis and evaluation. These categories begin with the relatively
simple knowledge outcomes and proceed through increasingly complex levels of
intellectual ability (Grounlund, 1985 : 32).
D. TINGKAH LAKU BELAJAR
Kajian tentang bagaimana manusia belajar telah banyak
dilakukan oleh para ahli. Minat terhadap kajian ini dilandasi oleh keinginan
untuk memberikan pelayanan pengajaran dengan hasil yang maksimal.
Pengajaran adalah proses membuat belajar terjadi di dalam
diri anak. Pengajaran bukanlah menginformasikan materi agar dikuasai oleh anak,
tetapi memberikan kondisi agar anak mengusahakan terjadi belajar dalam dirinya.
Anak dalam hal ini tidak dalam kedudukan yang pasif, tapi aktif mengusahakan
terjadinya proses belajarnya sendiri.
Oleh karena pengajaran dilakukan untuk membuat anak
belajar, maka pengajaran akan dilakukan secara baik dengan memahami bagaimana
proses belajar terjadi pada anak. Pengajaran harus didasarkan pada pemahaman
tentang bagaimana anak belajar.
Tingkah laku belajar adalah cara bagaimana individu
mengusahakan belajar terjadi di dalam dirinya. Setiap manusia mempunyai cara
yang khas untuk mengusahakan proses belajar terjadi di dalam dirinya. Namun,
secara tipikal berbagai tingkah laku belajar itu dapat dikenali polanya.
Telah banyak ahli yang memberikan penjelasan bagaimana
belajar terjadi di dalam diri manusia. Secara garis besar ada dua aliran yang
berpengaruh luas dalam menjelaskan proses belajar, yaitu aliran perilaku
(behavouristic) dan kognitif. Aliran itu selanjutnya melahirkan teori-teori
belajar, di mana teori belajar perilaku cenderung merekomendasikan untuk
belajar dengan cara menghafal, dan teori belajar kognitif lebih menyarankan
untuk belajar dengan memahami.
1. Tingkah Laku Belajar Menghafal
Teori belajar perilaku diilhami oleh aliran empirisme
dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Locke. Menurut aliran ini,
satu-satunya determinan perkembangan manusia adalah lingkungan. Semua
pengalaman merupakan akibat dari interaksi individu dengan lingkungan.
Pengalaman datangnya dari indera (sensory).
Pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan dan
perubahan perilaku. Akal hanyalah tempat penampungan yang pasif menerima
hasil-hasil penginderaan. Dalam pandangan empirisme (sensasionalisme), “semua
pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman
inderawi yang pertama, seperti atom-atom yang menyusun objek material. Apa yang
tidak dapat dilacak kembali bukanlah pengetahuan….” (Kattsoff, 1996: 137).
Dalam pandangan teori behavioristik, belajar merupakan
sebuah perilaku membuat hubungan antara stimulus (S) dan respons (R) dan
memperkuatnya. Pengertian dan pemahaman tidaklah penting karena S dan R dapat
diperkuat dengan menghubungkannya secara berulang-ulang melalui menghafal
(memorizing) sehingga diperoleh perubahan belajar yang diinginkan.
Menurut teori belajar perilaku, belajar adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati melalui kaitan antara stimulus dan respons menurut
prinsip yang mekanistik (Dahar, 1988 : 24). Dasar belajar adalah asosiasi
antara kesan (impression) dengan dorongan untuk berbuat (impuls to action).
Asosiasi itu menjadi kuat atau lemah dengan terbentuknya
atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan (Bower dan Hilgard, 1981 : 21). Eksperimen
Pavlov menunjukkan bahwa pengulangan itu dapat menimbulkan tingkah laku dengan
mengubah respons bersyarat menjadi renpons tanpa syarat (Bower dan Hilgard,
1981 : 49). Proses belajar dilakukan dengan menghafal secara berulang-ulang.
Belajar itu terjadi karena adanya ikatan antara stimulus
dan respons (S-R bonds). Ikatan itu menjadi makin kuat dalam
latihan/pengulangan dengan cara menghafal. Para behavouris meyakini bahwa hasil
belajar akan lebih baik dikuasai kalau dihafal secara berulang-ulang. Belajar
tidak memerlukan pemahaman karena terbentuknya hanya karena ikatan S-R yang
diperkuat dengan pengulangan dalam menghafal (law of exercise). Teori ini
didukung oleh hasil eksperimen yang dilakukan oleh para ahli psikologi seperti
Thorndike, Pavlov, Skinner dan Guthrie.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa belajar dengan menghafal adalah belajar dengan secara berulang-ulang
mengikatkan koneksi antara stimulus dan respons agar koneksinya makin kuat.
2. Tingkah Laku Belajar Memahami
Teori belajar kognitif dipengaruhi oleh aliran
rasionalisme. Pengetahuan datangnya dari penalaran. Rene Descartes mengatakan,
saya berpikir maka saya ada (cogito ergo sum). Dalam pandangan rasionalis,
pengalaman hanya dipandang sebagai perangsang bagi pikiran. Kebenaran dan
kesesatan terletak dalam ide, bukan dalam diri barang sesuatu (Kattsoff, 1996 :
139). Penalaran merupakan sumber valid dari pengetahuan. Panca indera itu tidak
terstruktur, acak dan hanya memberikan bahan untuk belajar. Di atas itu semua,
pikiran yang aktif bekerja.
Keharusan akan perlunya pengertian dan pemahaman dalam
belajar menjadi kondisi yang mutlak harus terpenuhi dalam pandangan teori-teori
kognitif. Menurut teori ini, belajar berlangsung dalam pikiran sehingga sebuah
perilaku hanya disebut belajar apabila siswa yang belajar telah mencapai
pemahaman (understanding).
Dalam teori belajar kognitif, seseorang hanya dapat
dikatakan belajar apabila telah memahami keseluruhan persoalan secara mendalam
(insight). Memahami itu berkaitan dengan proses mental : bagaimana impresi
indera dicatat dan disimpan dalam otak dan bagaimana impresi-impresi itu
digunakan dalam memecahkan masalah (Dahar, 1988 : 25).
Belajar yang bersifat mekanistik dan tanpa pemahaman
dipertanyakan manfaatnya. Pemecahan masalah tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan informasi yang tidak bermakna. Gagne mengatakan bahwa hasil belajar
adalah terbentuknya konsep, yaitu kategori yang kita berikan pada stimulus yang
ada di lingkungan, yang menyediakan skema yang terorganisasi untuk
mengasimilasi stimulus-stimulus baru dan menentukan hubungan di dalam dan di
antara kategori-kategori (Dahar, 1988 : 95).
Dalam belajar, menurut Bruner, orang mengkonstruksi
pengetahuan dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang
diperoleh dan disimpan sebelumnya (Dahar, 1988 : 119) yang ada dalam struktur
kognitif kita (Ausuble dalam Dahar, 1988 : 134). Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Keduanya tidak
dapat diteruskan dalam bentuk jadi, sehingga anak harus membangun
(mengkonstruksi) sendiri pengetahuannya (Piaget dalam Dahar, 1988 : 192).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar dengan memahami
adalah belajar yang memberikan tekanan pada dikuasainya materi pelajaran secara
menyeluruh (insightful) karena memahami hubungan satu materi dengan yang lain.
Dalam berbagai tingkah laku belajar anak, mereka yang
belajar dengan memahami akan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik daripada
mereka yang belajar dengan menghafal. Hal itu disebabkan karena belajar dengan
memahami membuat anak memiliki hubungan yang utuh dari sebuah konsep. Keutuhan
pemahaman itu memungkinkan anak belajar lebih bermakna daripada sekedar
menghafal berulang-ulang tanpa makna.
E. BENTUK TES DAN TINGKAH LAKU BELAJAR
Tingkah laku belajar anak sangat dipengaruhi oleh bentuk
tes yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar. Bentuk tes yang telah
dapat diprediksikan berdasarkan pengalaman yang berulang dan diberi tahukannya
bentuk tes yang dihadapi akan membuat anak mengorganisasi strategi belajarnya
menyesuaikan bentuk tes yang akan dihadapi.
Bentuk tes mempengaruhi bagaimana anak terlibat dalam
proses belajar. Pemilihan cara belajar sebagian ditentukan oleh bagaimana anak
menghadapi evaluasinya. Reaksi anak terhadap suatu rangsangan (stimulus) sangat
tergantung kepada hasilnya sebagai hadiah (reward). Azwar (1987 : 13)
mengatakan bahwa para siswa yang mengharapkan adanya tes akan cenderung untuk
belajar dan mereka cenderung akan mempelajari apa yang diharapkan akan
ditanyakan dalam tes. Grounlund (1985 : 9) mengatakan, “Antisipasi mengenai adanya tes memperbesar kegiatan belajar dan sifat
atau corak tes yang ditunggu-tunggu menyalurkan dan mengarahkan corak belajar
yang dilakukan”.
Bentuk tes dapat mempengaruhi perilaku belajar siswa yang
akan mengambilnya. Siswa akan belajar dengan pola bagaimana tes dirancang. Apabila
tes dirancang sebagai tes objektif maka siswa akan belajar dengan menghafal,
dan apabila tes dirancang sebagai tes esai maka siswa akan belajar dengan
memahami.
Akibatnya, siswa cenderung belajar dengan menghafal kalau
menghadapi soal objektif dan cenderung belajar dengan memahami kalau menghadapi
soal esai.
1. Tes Objektif dan Menghafal
Tes objektif akan direspons oleh anak dengan belajar
menghafal. Sehubungan dengan hasil belajar dalam kawasan kognitif yang disusun
taksonominya oleh Bloom, maka tingkah laku belajar menghafal memiliki
preferensi untuk mengambil tes objektif. Karena pengetahuan (knowledge) Bloom
lebih banyak berhubungan dengan ingatan maka dapat dikelompokkan sebagai
belajar menghafal (rote learning) (Sukmadinata, 2000 : 139).
Hal itu disebabkan karena butir-butir tes objektif
menyediakan semua informasi yang diperlukan untuk menjawab soal, sehingga hasil
belajar biasanya merupakan pemanggilan informasi (recalling) dari ingatan.
Hasil belajar berupa hafalan pada umumnya diukur dengan tes objektif karena
dapat lebih mudah disesuaikan dengan hasil belajar tertentu yang akan diukur,
memungkinkan pengadaan sampel tingkah laku yang lebih tepat dan dapat dinilai
lebih cepat dan objektif (Grounlund, 1981 : 37). Orang yang belajar dengan menghafal
diuntungkan oleh tes objektif karena dia terbiasa menghafal informasi untuk
disimpan dalam ingatan dan tes objektif adalah alat yang baik untuk mengukur
fakta dan hasil belajar langsung yang berkenaan dengan hafalan (Zainul dan
Nasoetion, 1996 : 57).
Dari berbagai pendapat di atas, dapat diketahui bahwa
para peserta tes yang belajar dengan menghafal akan memperoleh hasil yang lebih
baik daripada mereka yang belajar dengan memahami di dalam merespons tes
objektif.
2. Tes Esai dan Memahami
Siswa akan belajar hingga mendapatkan pemahaman untuk
menghadapi soal esai. Hal itu disebabkan karena untuk mampu menjawab soal esai
dibutuhkan pemahaman secara menyeluruh. Pemahaman secara fragmentaristik tidak
dapat digunakan untuk menjawab soal esai. Soal esai menuntut kemampuan tingkat
tinggi dalam level kognisi, seperti kemampuan menganalisa, menyusun sintesa dan
melakukan evaluasi.
Soal tes bentuk esai lebih menekankan pengintegrasian dan
pengaplikasian berpikir dan pemecahan masalah (Subino, 1987 : 4). Hasil belajar
bersifat kompleks dan bila dirinci menjadi hasil belajar yang lebih sederhana
dapat kehilangan arti globalnya, sebab hubungan antara komponen hasil belajar
yang satu dengan yang lain sangat erat. Hasil belajar seperti ini seharusnya
diukur dengan menggunakan tes uraian (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 34).
Tes esai dan belajar dengan memahami merupakan pengaruh
aliran psikologi kognitif. Menurutnya, belajar terjadi dalam otak manusia
sehingga belajar hanya terjadi apabila terbentuk pemahaman (insightful
learning) (Ditjen Dikti Depdikbud, 1981, 31). Banyak kemampuan manusia yang
tidak memungkinkan untuk diukur dengan soal objektif, karena keterbatasan soal
objektif dalam mengungkapnya. Berbagai proses belajar yang menuntut kemampuan
menyelidik, kemampuan menemukan masalah, memilih cara untuk memecahkan masalah
yang dihadapi, dan sebagainya tidak mungkin diukur dengan tes hasil belajar
dalam bentuk objektif (Soedijarto, 1993 : 55).
Sehubungan dengan hasil belajar dalam taksonomi tujuan
pengajarannya Bloom, level kognisi mulai pemahaman hingga evaluasi menuntut
belajar secara bermakna (Sukmadinata, 2000 : 139). Siswa yang belajar sampai
mendapatkan pemahaman akan diuntungkan oleh bentuk tes esai. Pemahaman yang
komprehensif terhadap problem menyebabkan siswa memiliki kemampuan menungkan
gagasannya lebih baik sebagaimana dituntut oleh tes esai.
F. KESIMPULAN
Dari berbagai teori yang dipaparkan di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan:
1. Hasil Belajar dan Bentuk Tes
a. Hasil belajar dan tes
objektif
Hasil belajar tes objektif mengukur kemampuan atau
perubahan perilaku pada level kognisi yang rendah/sederhana
b. Hasil belajar dan tes
esai
Hasil belajar tes esai mengukur kemampuan atau perubahan
perilaku pada level kognisi yang lebih kompleks
c. Hasil belajar pada tes objektif
dan esai
Hasil belajar dari tes objektif lebih baik daripada tes
esai, karena tes objektif sedikit menuntut taraf berpikir tingkat tinggi.
2.
Hasil belajar dan tingkah laku belajar
a. Hasil belajar dan tingkah
laku belajar menghafal
b. Hasil belajar dari
belajar menghafal adalah hafalan, yaitu pengulangan secara terus-menerus
koneksi antara stimulus dan respons
c. Hasil belajar dan tingkah
laku belajar memahami
d. Hasil belajar adalah
konsep yang dipahami dalam hubungan keseluruhan (gestalt/insigtful). c. Hasil
belajar pada tingkah laku belajar menghafal dan memahami Hasil belajar dari
belajar memahami lebih baik daripada menghafal, karena dengan memahami materi
dapat diretensi, ditransfer dan direproduksi kembali secara lebih efektif.
3.
Hasil Belajar dengan Berbagai Bentuk Tes pada Berbagai Tingkah Laku Belajar
a. Hasil belajar pada bentuk
tes objektif dan esai
b. Hasil belajar dari tes
objektif lebih baik daripada tes esai karena tuntutan level kognisi yang
rendah.
c. Hasil belajar pada
tingkah laku belajar menghafal dan memahami
d. Hasil belajar dengan
belajar memahami lebih baik daripada menghafal, karena pemahaman membuat materi
dapat diretensi, ditransfer dan direproduksi kembali secara efektif.
e. Perbedaan hasil belajar
pada berbagai bentuk tes dan tingkah laku belajar
1.
Pada belajar dengan menghafal, hasil belajar dengan tes
objektif lebih baik daripada tes esai. Tes objektif mengukur hasil belajar
tingkat rendah, yaitu ingatan, yang menguntungkan peserta tes yang belajar
dengan menghafal.
2.
Pada belajar dengan memahami, hasil belajar dengan tes
esai lebih baik daripada tes objektif. Tes esai mengukur hasil belajar
yang kompleks menguntungkan peserta tes yang belajar dengan memahami.
G. IMPLIKASI
Dari kesimpulan tersebut dapat dilihat bahwa tes objektif
hanya mengukur level kognisi yang sangat rendah yang dipelajari dengan
menghafal. Akibatnya, hasil belajar tidak banyak memberikan makna karena hanya
mencerminkan kemampuan menghafal siswa dan tidak mencerminkan pemahamannya.
Padahal, dalam kehidupan manusia dituntut untuk membuat pilihan-pilihannya
sendiri dan bukan memilih pilihan yang tersedia. Hal ini mengakibatkan ilmu
yang dipelajari tidak memberikan sumbangan bagi pemupukan keterampilan hidup (life
skills).
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, Anne dan Urbina, Susana (1997). Tes
Psikologi. Terjemahan oleh R. Hariono S. Imam. Jakarta : Prenhallindo Arikunto,
Suharsimi (1995).
Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta :
Bumi Aksara Azwar, Saifuddin (1987).
Tes Prestasi. Yogyakarta : Liberty Bower,
Gordon H dan Hilgard, Ernest R (1981).
Theories of Learning. Engkewood Cliffs, NJ :
Prentice Hall, Inc. Dahar, Ratna Willis. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta :
P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud (1981).
Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar
V. Jakarta : Ditjen Dikti Depdikbud Grounlund, Nourman E (1981).
Constructing Achievement Test. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. Grounlund, Nourman E dan Linn, Robert L (1985).
Measurement and Evaluation in Teaching. New
York : McMillan Publishing Company Kattsoff, Louis O. (1996).
Pengantar Filsafat. Alih bahasa oleh Soejono
Soemargono. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana Yogya Nurkancana, Wayan dan
Sumartana, PPN (1986).
Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional
Popham, W James (1981).
Modern Educational Measurement. Englewood
Cliffs, NJ : Prentice Hall, Inc. Soedijarto (1993). Menuju Pendidikan Nasional
yang Relevan dan Bermutu. Jakarta : Balai Pustaka Subino. (1987).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar